Kamis, 17 Maret 2011

AGORAPHOBIA

oleh : Rini Nurul B

Aku dan seorang sahabat duduk di pelataran sebuah restoran fast food terkenal. Pesanan makanan baru saja terhidang di meja. Kepalaku pening.

“Kenapa, Rin? Mukamu pucat.”

Sahabat itu meraih tanganku yang terasa dingin. Tanpa menunggu jawaban, ia berinsiatif meminta kemasan kertas untuk membungkus makanan kami dan menggamitku pulang. Aku tidak berkata apa-apa kala sahabatku menghentikan taksi.

Kejadian di atas cukup sering kualami. Saat berangkat aku sangat sehat, bahkan bersenda gurau seperti biasa. Tetapi mendadak perasaan tak nyaman hadir dan memicu reaksi lambungku. Mengapa demikian? Aku adalah pengidap agoraphobia, sejenis sindrom serangan panik jika berada di tempat terbuka, tempat ramai, atau di mana saja di luar zona nyaman. Wilayah nyamanku, tidak lain dan tidak bukan, adalah rumah.

Sejak kecil, fisikku lemah. Aku mudah merasa pusing bila bepergian dalam jarak dekat sekalipun. Bukan hanya dengan angkutan umum, namun juga mobil pribadi. Keadaan itu cukup merepotkan, tetapi orangtuaku tak ingin memanjakanku. Meski pening dan kadang-kadang muntah, aku tetap dibawa serta. Masih kuingat jelas, aku dipegangi Mama sambil berdiri dalam bus karena tidak kebagian tempat duduk. Ke mana pun pergi, aku selalu berbekal permen dan obat gosok.

Penyakit mabuk daratku dikaitkan dengan gangguan lambung yang terlihat nyata saat aku bersekolah. Anehnya, kondisiku memburuk kala pindah ke SD lain di tengah kota. Sering sekali aku diantar pulang karena merasa tidak enak badan tepat ketika tiba di halaman sekolah.

Ayah dan ibuku memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter. Bahkan kepalaku sempat di-scan. Tak ada keanehan yang berarti. Aku menyelesaikan sekolah dan beraktivitas sebisa mungkin walau cukup kerap jatuh sakit. Syukurlah nilai-nilaiku tidak merosot kendati aku harus bersusah payah mengejar ketinggalan.

Memasuki bangku SMP, kesehatanku beranjak ‘normal’. Aku mulai terbiasa pulang-pergi sekolah sendiri. Naik angkutan umum dua kali karena rumahku terletak relatif jauh dari keramaian kota. Beberapa kali kami sekeluarga liburan ke luar kota. Aku sehat-sehat saja meski sering berganti kendaraan dalam perjalanan ke Yogyakarta. Pergi naik kereta api, pulang naik bus yang sesak penumpang. Duduknya pun tidak di deretan terdepan. Mama mengira aku tidak mabuk karena terus diajak mengobrol, padahal suasana hati yang santailah pencegah sesungguhnya.

Hari-hariku di SMA jauh dari menyenangkan. Aku terkapar di UKS pada masa orientasi. Baru seminggu belajar efektif, typhus mengharuskanku istirahat total di rumah selama sebulan. Praktis tahap adaptasiku terpenggal. Ketika kembali masuk sekolah, aku masih merasa asing dan memilih duduk di deretan paling belakang bersama anak laki-laki. Raporku dihiasi angka merah untuk dua pelajaran, sehingga Bapak melarangku ikut ekstrakurikuler. Tetapi sekolah mewajibkannya sebagai poin tambahan dalam rapor. Oleh karena itu, aku memilih kegiatan yang tidak terlalu melelahkan yakni majalah dinding dan kelompok ilmiah remaja. Dokter telah memberi peringatan bahwa leverku rawan terganggu jika aku memforsir diri.

Alhamdulillah, lulus SMA, aku diterima di jurusan pilihanku. Dengan sukacita aku menjalani opspek yang seakan tak berkesudahan di tingkat universitas, fakultas, dan jurusan. Pulang-pergi Jatinangor-Bandung selama satu semester membuatku kepayahan, maka aku memutuskan untuk kos. Aku yang biasa dipantau orangtua dalam segala hal, sampai-sampai dikenal dengan sebutan gadis pingitan, memikul tanggung jawab di rantau. Semuanya baik-baik saja hingga aku mengajukan proposal skripsi dan kembali ke rumah. Mata kuliah yang kuikuti tinggal satu-dua alias menghabiskan jatah SKS. Dengan begitu, aku tak perlu kos.

Tak disangka-sangka, penyakitku kambuh. Lebih kronis, malah, sebab aku sempat masuk rumah sakit dalam tempo yang berdekatan. Aku harus ‘berurusan’ dengan dokter spesialis penyakit dalam. Menurutnya, pemicu maag yang paling populer adalah stres. Tak ubahnya penderita penyakit jantung, lambung yang lemah sangat rentan bereaksi terhadap segala bentuk ’kejutan’.

Setelah menikah, keadaanku tak banyak berubah. Staminaku naik-turun dengan drastis. Aku bekerja di kantor, walaupun pulang malam dalam keadaan tak enak badan.

Berbekal ketertarikan pada Internet, aku menjelajahi aneka komunitas. Dari hobi itu, aku memperoleh karib praktisi kejiwaan yang bermukim di benua lain. Ia menganalisis kasus-kasusku, termasuk frekuensi mabuk darat yang juga dikenal dengan motion sickness. Aku diarahkannya untuk banyak membaca literatur, di samping novel psikologi yang memang merupakan minat utamaku. Pengetahuanku bertambah luas seiring upaya mencocokkan gejala-gejala yang kualami sekian lama.

Baru dua tahun terakhir aku menyadari bahwa penyakitku bernama agoraphobia. Aku mendapati kesamaan saat menonton sebuah film yang dibintangi Sigourney Weaver. Ia memerankan seorang dokter yang memerlukan kehadiran asisten di sebelahnya karena sewaktu-waktu ia dapat terserang panik dan menghembuskan napas ke dalam kantong kertas. Dalam banyak kesempatan, aku membawa tisu, kantung plastik dan obat maag dalam saku jaket atau tas.

Pengidap agoraphobia sangat kerasan berada di rumah. Seperti itulah aku. Apabila keluar, aku harus ditemani seseorang. Jika bukan untuk menerima tamu atau menjemur pakaian, aku tidak akan menginjak halaman. Memang ini tidak sehat, apa lagi aku berkutat dengan komputer seharian. Aku memiliki dunia sendiri, bersama koleksi buku bacaanku dalam kamar. Buku adalah sahabatku semenjak kanak-kanak. Aku memang cenderung introvert dan tak pandai bergaul. Dari sebuah buku karangan Dr. James Pennebaker, Ketika Diam Bukan Emas, aku mendapati bahwa menulis merupakan aktivitas yang manjur sebagai terapi. Maka kutekuni lagi hobi itu. Kali ini dengan sungguh-sungguh. Aku ingat benar bahwa kesehatanku prima lahir-batin sewaktu kuliah karena rajin menulis, meski sekadar untuk konsumsi pribadi.

Psikolog kenalanku mendukung kebiasaan ini. Aku memilih tidak menemui dokter sebab penanganannya dipastikan melibatkan obat-obatan, sedangkan zat kimia akibat obat sudah menumpuk dalam tubuhku. Gejala-gejala sesak napas di keramaian atau kegelisahan bila orang yang kupercayai (antara lain suamiku) jauh dari tempatku berada tidak selalu timbul. Aku pernah ikut suami mudik dengan motor dan tetap segar bugar. Kali lain, aku menghadiri acara keluarga di luar kota dan hanya mengalami keletihan biasa. Semua benar-benar tergantung pada suasana hati dan pikiranku. Di samping itu, kepanikan tak pernah membuatku histeris atau pingsan di tempat umum.

Sulit menjelaskan kondisi ini kepada orang lain, bahkan keluargaku sendiri. Mereka hanya menilai aku mudah mabuk darat, titik. Tak banyak yang tahu bahwa kadang-kadang kepalaku sakit kala berusaha keras mengingat sesuatu. Hal itu dikarenakan alam bawah sadarku telah banyak memangkas memori tak menyenangkan. Kadang-kadang aku senang pergi sendirian, kadang-kadang aku malah tersesat di tempat yang jaraknya dekat sekalipun hanya karena perasaan asing yang muncul. Bila diajak menonton di bioskop, aku cuma dapat mengajukan alasan tidak tahan dinginnya AC. Pergi ke mal kerap membuatku deg-degan, padahal aku memiliki pengalaman mengajar.

Bahwa porsi sensitivitasku berlebihan, itu kuakui. Aku tidak ingin menyalahkan pola asuh orangtuaku yang cenderung protektif. Biar bagaimana pun, mereka melakukannya karena menyayangiku. Bukan perpisahan mereka, yang terjadi beberapa tahun silam, yang memperparah phobia-ku. Melainkan reaksi negatif lingkungan sekitar. Jujur saja, sikap banyak orang membuatku semakin menutup diri. Jika tetangga dan kenalan menganggapku sombong atau misterius karena senantiasa ‘bersembunyi’, itu hak mereka. Wajar saja bila mereka heran melihat betapa enggannya aku beranjak dari rumah, bagaikan pertapa. Mengubah sifat introvertku yang sudah mendarah daging tidak pula mudah. Aku pernah mencobanya dengan ‘membuka hati’ (baca: berlaku sedikit akrab) pada seorang kenalan, namun ternyata ia melanggar janji dan memberiku alasan untuk kian berhati-hati dalam pergaulan.

Sekarang ini, aku telah ikhlas menghadapi kenyataan. Aku sangat bersyukur memiliki suami yang sabar, sahabat dan keluarga yang mendukungku, meski tak semuanya mengerti apa yang terjadi. Aku tak merasa kesepian kala harus sendiri, karena pada dasarnya aku memang suka suasana tenang.

Dengan begitu, aku dapat mencurahkan konsentrasi untuk berkarya. Sejumlah kolega penerbit dan kawan penulis tak menuntutku bertemu muka untuk menjalin relasi yang baik. Aku yakin kalau memang harus berjumpa, suatu saat waktunya akan datang. Kerjasama dan komunikasi via Internet mendorongku belajar memupuk kepercayaan pada orang lain.

Pada saat-saat tertentu, aku tidak menyerah pada sindrom kecemasan dan melawannya dengan menanamkan pikiran ‘perjalanan ini menyenangkan’. Agoraphobia adalah berkah bagiku, bukan musibah yang perlu diratapi.(Juara I Lomba Cermin : Kisah Hidupku/Ijs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar