Kamis, 17 Maret 2011

tugas mata Kuliah Capita Selecta, tahun 2009

BAB I

Modernisasi Pendidikan dan Management Berbasis Sekolah

(School Based Management)

1. Pengantar, Pengertian

Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management” atau desentralisasi pengelolaan sekolah. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Perjalanannya sudah berlangsung cukup panjang, yaitu dengan dibentuknya Assosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association, NEA) pada tahun 1857. Pada tahun 1887 itu, guru-guru di New York membentuk sebuah assosiasi kepentingan bersama dan assosiasi yang sama didirikan di Chicago, dipimpin oleh Margarette Harley. Pada tahun 1903 guru-guru Philadelphia membentuk organisasi Assosiasi guru-guru Philadelphia (Philadelphia Teacher Association). Melalui assosiasi inilah guru-guru bangkit untuk meningkatkan martabat hidupnya, yang hasilnya antara lain guru-guru memperoleh gaji yang lebih baik.

Manajemen Berbasis Sekolah berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan, pengendalian (tindakan turun tangan), dan kesan dari anak buah ke atasannya). Pengertian manajemen tersebut, menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997) dapat dilukiskan seperti pada Gambar berikut :

Gambar Manajemen
Sumber: Poernomosidi Hadjisarosa, 1997

Keterangan: SDM-M (sumberdaya manusia manajer) mengatur sumber daya manusia pelaksana (SDM-P) melalui input manajemen yang terdiri dari (T = Tugas; R = Rencana, P = Program; T3 = Tindakan Turun Tangan; K = Kesan) agar SDM-P menggunakan jasa manusianya (Jm) untuk bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output.
Sedangkan Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sedangkan pengertian dari sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja). Dari pengertian diatas dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)". Catatan: kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut
(David, 1989): manajemen berbasis sekolah = otonomi manajemen sekolah + pengambilan keputusan partisipatif.

MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat ini dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Pada hal itu, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

MBS menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para peserta didik. Adanya otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para personil menawarkan partisipasi langsung pihak-pihak terkait dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Otonomi sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi setempat, mereka yang bertanggungjawab terhadap kebijakan, dan mereka yang terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut. Hal ini sejalan dengan pemikiran Wirt & Kirst (1982:147), yang menyatakan bahwa better education would be possible if locally based,. (lihat juga Fiske, 1998). MBS dapat dikatakan merupakan model pengelolaan pendidikan yang relatif baru bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Model ini mulai diujicobakan tahun 1999/2000 pada 140 SMUN dan 248 SLTPN dan pada tahun 2000/2001 pada 486 SMUN dan 158 SLTPN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Dikmenum, 2000d : 3). Hal ini disebabkan karena manajemen berbasis sekolah pada umumnya memiliki ciri-ciri universal, sehingga setiap sekolah yang akan mengadopsi model ini perlu mengadaptasikannya/menyesuaikannya dengan karakteristik kancah di sekolah masing-masing. Model manajemen berbasis sekolah berikut pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan sistem (berfikir sistem), yaitu output-proses-input. Urutan ini dipilih dengan alasan bahwa setiap kegiatan sekolah akan dilakukan, termasuk kegiatan melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), semestinya dimulai dari "output" yang akan dicapai, kemudian ke "proses", dan baru ke "input" yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Namun, langkah-langkah pemecahan persoalannya ditempuh dengan mengikuti urutan yang berlawanan dengan arah analisis SWOT. Karena manajemen berbasis sekolah merupakan jiwa dan semangat sekolah, maka setiap penjelasan berikut telah menginklusifkan otonomi dan partisipasi ke dalamnya, meskipun tanpa menyebut istilah otonomi dan partisipasi. Artinya, setiap pembahasan butir-butir berikut selalu dijiwai oleh otonomi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan sekolah. Secara ringkas, manajemen berbasis sekolah dapat diuraikan seperti berikut (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).

Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut :

1. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orangtua, dan guru

2. Bertujuan nbagaimana memanfaatkan sumber daya lokal

3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.

4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan (fattah, 2000)

Telah banyak usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan, hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.

  1. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.
  2. Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
  3. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peran serta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas.

Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan reorientasi penyelengaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasisi Sekolah (School Based Management).

Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus meniru

secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara lain, kemudian memodifikasi, merumuskan, dan menyusun model dengan mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, strukutur masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan yang telah berlangsung selama ini.

2. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN.

MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain, diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh , antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibiltas sekolah, dan kelas, peningkatan professionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya system insentif serta disentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.

3. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berorientasi pada tugas.

MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, seperti pada sekolah-sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staf, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan. Kesempatan berpartisipasi tersebut dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah.

Faktor Pendorong Perlunya Desentralisasi Pendidikan
Saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan. Beberapa perubahan tersebut antara lain,

  1. Orientasi manajemen yang sarwa negara ke orientasi pasar. Aspirasi masyarakat menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan yang timbul.
  2. Orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi. Pendekatan kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis.
  3. Sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.
  4. Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi negara yang sudah tidak jelas lagi batasnya (boundaryless organization) akibat pengaruh dari tata-aturan global. Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan global.

Fenomena ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Disamping itu membawa dampak ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi terinci sbb.:

  • tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
  • anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
  • ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
  • penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat
  • tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.


Desentralisasi pendidikan, mencakup tiga hal, yaitu;

  1. manajemen berbasis lokasi (site based management).
  2. pendelegasian wewenang
  3. inovasi kurikulum.

Pada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekwensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Pada kurikulum 2004 yang akan diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal. Daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus (GBPP) nya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.

Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria,danZimbabwe.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional.
Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.

4. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

5. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Ciri-ciri MBS, bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan SDM, proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:

Ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS

*) Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempunyai tiga komponen yang harus dimilikinya, yaitu:

  • memiliki kharisma yang didalamnya termuat perasaan cinta antara KS dan staf secara timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya dalam bekerja
  • memiliki kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya
  • memiliki kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual terhadap staf. KS mampu mempengaruhi staf untuk berfikir dan mengembangkan atau mencari berbagai alternatif baru.

Dengan demikian, MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tapi masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Tetapi semua ini harus mengakibatkan peningkatan proses belajar mengajar. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab (high responsibility), kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih (more authority) serta dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh yang ber-kepentingan/tanggung gugat (public accountability by stake holders). Secara ringkas perubahan pola manajemen pendidikan lama (konvensional) ke pola baru (MBS) dapat digambarkan sebagai berikut:


Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut:

  • menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut
  • mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan “input” pendidikan yang akan dikembangkan
  • mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya
  • bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelengaraan sekolah
  • persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.

Hasil rumusan yang dihasilkan peserta kemungkinan sangat banyak dan bervariasi. Pada akhir diskusi, fasilitator bersama-sama peserta mencoba mengklasifikasi dan menggabungkan rumusan yang sejenis sehingga diperoleh ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah. Misalnya:

  • Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah
  • Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
  • Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas)
  • Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
  • Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat.
  • Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.

· Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.

· Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll).

· Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.

BAB II

Kurikulum dalam MBS

Kurikulum yang dibuat oleh pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan local.

Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah kurikulum yang seperti namanya didasari oleh kompetensi. Kompetensi sendiri adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak secara terus-menerus dan konsisten (Dr. Nurhadi. 2004)

Kurikulum berbasis kompetensi sendiri adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa. Bisa dikatakan bahwa kurikulum ini mengharapkan hasil dimana para siswa dapat melakukan sesuatu dalam konteks tertentu dengan tindakan yang sesuai dengan konteks yang terjadi. Bisa dikatakan juga siswa dapat menyesuaikan diri pada suatu konteks nyata yang terjadi.

Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut ( www.kurikulumberbasiskompetensi.com ):

• Keimanan, nilai dan budi pekerti luhur

• Penguatan integritas nasional

• Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika

• Kesamaan memperoleh kesempatan

• Abad pengetahuan dan teknologi informasi

• Pengembangan keterampilan hidup

• Belajar sepanjang hayat

• Berpusat pada anak dan penilaian yang berkelanjutan dan komperhensif

• Pendekatan menyeluruh dan kemitraan

Kurikulum berbasis kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen yaitu kurikulum dan hasil, penilaian berbasis kelas, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah ( www.kurikulumberbasiskompetensi.com ).

Kurikulum dan hasil belajar , memuat perencanaan pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir hingga 18 tahun, kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi, hasil belajar, dan indikator dari TK dan RA sampai dengan kelas XII (TK dan RA – 12).

Penilaian berbasis kelas , memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi/hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan .

Kegiataan belajar mengajar , memuat gagasan-gagasan pokok tentang pembelajaran dan pengajaran yang untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan serta gagasan-gagasan pedagogis dan androgogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik.

Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah , memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum ( curriculum council ) pengembangan perangkat kurikulum ( a.l. silabus ), pembinaan profesional tenaga kependidikan dan pengembangan sistem informasi kurikulum.

Kurikulum ini pada bentuknya bertujuan pada pencapaian siswa pada kompetensi tertentu setidaknya standar-standar akan kompetensi yang telah ditentukan dapat terpenuhi. Pembelajaran yang dilakukan tidak terpaku pada hasil pendidikan tetapi lebih kepada proses pembelajaran itu sendiri dimana siswa dapat bereksperimen dengan keadaan yang tersedia di depannya, demi untuk tercapainya pengetahuan karena memang pembelajaran tidak hanya bersumber dari guru saja melainkan dari non-guru, selama hal itu mendukung kompetensi siswa yang diharapkan.

Selain itu, mutu pendidikan yang diberikan tidak dipatok pada 1 tingkatan mutu atau keadaan saja melainkan diberikan secara demokratis yaitu bisa saja pendidikan dikembangkan lebih baik atau mungkin hanya sekedarnya. Hal ini didasarkan pada keadaan siswa yang ada. Bahkan mengenai demokrasi mutu ini, pada tahun 2005, J.Drost, SJ mengusulkan bahwa dengan pemberian mutu pengajaran yang demokratis seperti ini maka baginya, pengajarannya juga dipisahkan antara orang-orang yang cerdas dengan orang-orang yang tidak terlalu menonjol kecerdasannya. Akan tetapi di luar hal itu pendidikan yang diselenggarakan tidak sepenuhnya diberikan plot-plot pengajaran itu melainkan diatur sesuai keadaan yang ada pada siswa dengan catatan standarisasi kecakapan atau kompetensi siswa tetap dapat terpenuhi.

Pada bagian lain yaitu metode pembelajaran siswa adalah metode pembelajaran yang didasari oleh konteks sosial maka dibuat sedemikian rupa keadaan dimana siswa dapat diikutsertakan dalam rekonstruksi konteks sosial yang telah diberikan.

BAB III

SOP Lembaga Pendidikan Alternative

Berikut ini merupakan contoh dari lembaga pendidikan alternative,

Tim Work Pustaka Aneuk Nanggroe sebagai tim inti, adalah mereka yang
mengkonsep organisasional, program dan meVisi :
Menjadi lembaga yang mandiri, inovatif, pusat pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi, kemanusiaan dan seni berdasarkan moral agama.

Mis :
1.Menyelenggarakan pendidikan alternatif
2. Menyelenggarakan penelitian, pelatihan keterampilan menunjang
pendidikan menuju pada pengembangan masyarakat
3. Mendarma baktikan keahlian dalam bidang ilmu, keterampilan,
teknologi kemanusiaan dan seni kepada masyarakat

Menjalankan operasional organisasi keseluruhan Sasaran bagi lembaga ini adalah mereka yang sangat tertarik dan respek terhadap pendidikan khususnya kalangan :
1. Anak-anak, dapat mengakses sebagai sarana pendidikan dan pengembangan kemampuan. Pustaka mengupayakan dan menyediakan berbagai macam program untuk anak-anak.
2. Remaja, dapat mengikuti semua program pendidikan secara khusus dikonsep bagi dalam ruang lingkup kalangan pelajar, mahasiswa, dan kalangan putus sekolah untuk meningkatkan kemampuan, pegetahuan dan keterampilan mereka
3. Umum, pustaka juga mengusahakan sedapat mungkin dapat memajukan dan meningkatkan nilai bagi masyarakat yang berminat untuk belajar melalui lembaga ini.

Menyediakan pustaka yang dapat diakses bagi seluruh lapisan masyarakat,
guna meningkatkan pengetahuan masyarakat
1. Menjadikan pustaka sebagai pusat pendidikan alternatif untuk
membentuk manusia terampil , cerdas, dan inovatif.
2. Mendekatkan pustaka dengan kalangan pemerintah, swasta secara
kelembagaan dan atau personal sesuai dengan keterkaitannya.
3. Membuka jaringan seluasnya dengan kalangan yang respek terhadap
dunia pendidikan khususnya pendidikan alternaitif.

Secara stuktural pustaka terdiri dari bagian-bagian yang tidak terpisahkan:
1. Tim work sebagai tim inti, menagani konseptual organisasi dan
operasional secara keseluruhan
2. Komunitas belajar, komunitas yang tumbuh dan berkembang dari proses
pembelajaran melalui sekolah alternatif dan sebagai pelaksana program
kegiatan pustaka
3. Komunitas baca, komunitas yang menjadikan pustaka sebagai tempat
belajar dan membaca

Semakin banyak lembaga pendidikan yang dapat diakses masyarakat akan
semakin mempercepat tercapainya masyarakat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan.Oleh karenanya selain berfungsi sebagai pustaka, juga berfungsi sebagai pusat pendidikan alternatif dan pusat kraeativitas masyarakat khususnya pelajar dan mahasiswa dan kalangan putus sekolah

Dalam lima tahun kedepan, Sejak mulai berjalannya dari bulan april 2005, telah mengalami beberapa proses konseptual organisasi dan lima tahun kedepan pustaka akan
menjadi pusat lembaga pendidikan alternatif yang handal bagi mereka yang ingin berkembang dan mendapatkan ilmu pngetahuan dan keterampilan seluasnya, murah dan terjangkau bagi semua kalangan

Pembiayaan organisasi dan program dilakukan melalaui :
1. Swadaya organisasi
2. Donatur dari lembaga pemerintah, swasta dan instansi terkait
3. Personal yang respek terhadap dunia pendidikan khususnya
pendidikan alternatif

Sumber daya berbasis teknologi
Diupayakan melalui penguasaan teknologi seluasnya menyadari bahwa era modern saat ini sangat bergantung pada teknologi khususnya teknologi informasi

Personal requirements
Sumber daya manusia didapatkan dari hasil pendidikan alternatif yang dijalankan oleh pustaka, yang mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan kreativitas dan kecerdasan berpikir serta berbagai keterampilan

Resource requirements
Segala bentuk kreativitas dan inovasi sebagai hasil pendidikan alternatif akan meningkatkan sumber daya manusia yang berguna tidak hanya bagi organisasi tetapi bagi masyarakat keseluruhan.

Resiko
Dunia pendidikan adalah dunia kepercayaan, resiko yang paling barbahaya adalah kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan lingkungan.

Mengurangi resiko
Satu-satunya jalan untuk memperkecil resiko kepercayaan adalah dengan mengupayakan lembaga ini menjadi lembaga yang betul-betul dapat menambah nilai positif dalam kehidupan bermasyarakat

Akibat.
Lembaga akan menjadi tidak berguna dan tidak bermanfaat bagi dunia pendidikan jika telah kehilangan kepercayaan.

Normalisasi operasional berjalan jika :
1. Ketersediaaan sarana utama dan pendukung telah dapat di atasi
2.Ketersediaan sumber daya manusia yang mampu dan handal dalam mengelola organisasi sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan
3.Kesiapan secara finansial untuk dapat terus menerus dan berkelanjutan menjalankan program-program dari lembaga.

KESEMPATAN :
Kesempatan yang terbuka luas, mengingat ketertinggalan dunia pendidikan di Indonesia memacu masyarakat untuk membuat alternatif pendidikan dan biaya pendidikan yang semakin tinggi dirasakan oleh masyarakat dan semakin tidak terjangkau, menjadikan lembaga ini akan menjadi pilihan bagi semua kalangan.

BAB IV

Kultur Akademik Pendidikan dalam MBS

Manajemen Berbasis Sekolah dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. Penerapan Manajemen berbasis sekolah adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan ke arah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, Manajemen berbasis sekolah pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka guna mengedepankan kerjasama antara berbagai pihak tersebut di atas yang lebih dikenal dengan istilah collaborative school management lihat (Caldwell dan Spink, 1988)
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS merupakan upaya untuk memandirikan sekolah dengan memberdayakannya. Dengan diterapkannya manajemen berbasis sekolah ,maka diharapkan prestasi belajar murid mungkin lebih meningkat daripada majanemen yang berbasis di pusat /di tingkat daerah. Para kepala sekolah akan cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat yang ada di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta merencanakannya.

Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
Selain itu lingkungan sekolah sebagai lembaga pendidikan, harus dikelola secara profesional agar menjadi "sekolah belajar" (learning school) yang mampu menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Menurut
Bovin (1998), untuk menjadi sekolah belajar,maka sekolah harus:

1).memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal mungkin,
2).memfasilitasi warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar kembali,
3).mendorong kemandirian (otonomi) setiap warganya,
4).memberikan tanggungjawab kepada warganya,
5).mendorong setiap warganya untuk "mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap hasil kerjanya,
6). mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared value bagi setiap warganya,
7).merespon dengan cepat terhadap pasar (pelanggan),
8). mengajak warganya untuk menjadikan sekolahnya customer focused,
9). mengajak warganya untuk nikmat/siap berhadap perubahan,
10). mendorong warganya untuk berfikir sistem, baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun cara menganalisis sekolahnya,
11). mengajak warganya untuk komitmen terhadap "keunggulan kualitas",
12). mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus, dan
13). melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah.

Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses belajar mengajar.
Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah dapat dioptimalkan.

PENUTUP


Mengubah manajemen berbasis pusat atau daerah menjadi manajemen berbasis sekolah merupakan suatu proses yang panjang dan melibatkan seluruh komponen yang bersangkutan dan banyak pihak. Perubahan ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem (struktur)nya, kulturnya, maupun figurnya, dengan tuntutan-tuntutan baru manajemen berbasis sekolah. Dlam rangka pelaksanaan konsep menejemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi dir untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan sekolah, dalam pernyusunan program, sekolash harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah pada umumnya. Oleh karena itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dan baik hasilnya. Dengan demikian, fleksibiltas dan eksperimentasi-eksperimentasi yang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah perlu didorong. Dengan Penerapan Menejemen Berbasis Sekolah secara efektif maka diharapkan dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi anak didik

DAFTAR PUSTAKA

Abu-Duhoui, Ibtisam, School Based Management, terjemahan Noryamin Aini, Suparto

&Abas Al-Jauhari, cetPT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2002
Dahar, Ratna Wilis, Teori-teori Belajar, Depdikbud Berkerjasama Dengan Dirjend

Perguruan Tinggi, PPL Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta, 1989.

Gredler E. Bell Margaret, Belajar dan Membelajarkan, Terjemahan Munandir, CV,

Rajawali, Jakarta, 1991

Sudjana, Nana, dkk, Teknologi Pengajaran, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2001

Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar (Menggagas Paradigma Baru Pendidikan),

Paramadina, Jakarta, 2001

Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998

Snelbecker, Glenn. E, Learning Theory, Intructional Theory, and Psycoeducation

Design, McGraw-Hill Book Company, United State of America, 1974

Tirtaradja, Umar, dkk, Pengantar Perndidikan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1998.

Miftah Thoha, Ph.D. "Desentralisasi Pendidikan", Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

NCREL, 1995, "Decentralization: Why, How, and Toward What Ends?" NCREL’s

Policy Briefs, report 1, 1993 dalam Nuril Huda "Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya", Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

Donoseputro, M (1997) "Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Upaya Pencapaian

Tujuan Pendidikan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Alat Pemersatu Bangsa", Suara Guru 4: 3-6.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Edisi 3 Departemen Pendidikan

Nasional. DirektoratJendral Pendidikan Dasar dan Menengah, 2001

Mulyasa, E., Dr., M.Pd., Manajemen Berbasis Sekolah, Rosda Karya, Bandung, 2002

Danim, Sudarwan,Prof.,Dr.,Visi Baru Manajemen Sekolah, PT Bumi Aksara,Jakarta,2006
www.kurikulumberbasiskompetensi.com

www.google.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar